Semilir angin membawa rasaku semakin menjulang ke antah-berantah. Lumpur, pasir, kayu dan batu. Berpupur lumpur, wajah ini kehilangan bentuk, trenyuh hatiku melihat rautnya terpantul dari kubangan di samping kiriku. Matahari kembali menyengat, panas mengiris di tengkuk yang berbalut lumpur yang mengering. Silau, cahaya putih serempak mengiris mata seketika aku menengadahkan kepala.
Dari kejauhan samar terdengar gumam-gumam yang bercampur erang dan jeritan. Seketika kesadaranku penuh menelusur di aliran darah, menyentuh setiap sel yang lemah antara hidup dan mati. Menyalurkan kembali kemampuan merasa yang entah berapa lama terhenti ketika aku terpejam setengah mati tadi. Kesemutan menjalar dari tumit dan merangkak naik hingga ke paha. Terasa beban menggelayut di pangkuanku. Kepalaku tertunduk dan tertumbuk pada tubuh renta terkulai di sana.
Perih, lalu ada desahan udara terpompa dari rongga dadaku kembang kempis begitu cepat, seiring bahuku yang berguncang-guncang dengan sisa tenaga yang entah aku dapat darimana.
Aku terisak tanpa suara, tenggorokanku kering seperti terbakar. Menatap mata itu yang tak lagi bercahaya. Berbalut pakaian yang koyak hingga tak berbentuk digerus bah yang seketika lewat dalam gemuruh, lalu pergi meninggalkan perih kehilangan.
Dia yang wajah keriputnya tadi pagi membentuk senyum penuh harap meski sesaat. Dia yang jiwanya hilang tatkala jiwa tuanya masih tegar merengkuh harap hidup lebih lama. Sungguh, aku tak kuasa mewujudkan harapnya untuk mempertahankan selembar kehidupan.
***
Tak perlu air bah untuk menghanyutkannya, pun tak perlu puting beliung menerbangkannya. Rumah tua peninggalan Ayah yang tak pernah aku lihat wajahnya. Ayah yang hanya kudengar ceritanya, kureka-reka rupanya, dan kukhayal-khayalkan hangat peluknya melalui cerita nenek ketika beliau kehabisan bahan cerita pengantar tidurku waktu kecil dulu.
Tinggal puing terserak diantara hamparan luas kehancuran. Tetangga di kiri dan kanan tampak sudah memulai merengkuh kembali semangat hidup yang sempat terbawa jauh bersama air yang membilas bahagia menjadi pedih tak terhingga.
Sekian lama di pengungsian, sekian lama mengumpulkan keberanian, setelah kepergian nenek aku diliputi beribu rasa bersalah. Aku jengah dan aku marah atas diri yang kupandang begitu lemah. Tapi waktu mengurai setiap luka dan memberikan kesempatan bagi jiwa-jiwa untuk kembali menjalin harap.
Deritan bilah bambu, gemeretak pecahan kaca, bersahutan dengan bunyi palu dan gergaji di sebelah reruntuhan rumah. Mataku menelisik petak besar reruntuhan, seketika hatiku bertanya, apa yang aku cari? Hanya sebuah sepeda motor matic yang tersungkur dan tampak menyedihkan. Entah apakah masih bisa kuperbaiki atau tidak. Aku ingat di saat-saat terakhir usahaku menyalakan mesinnya yang sudah terendam air begitu dalam.
Tapi raguku terhempas sesaat pandanganku tertuju pada setumpuk benda yang tertimpa reruntuhan atap dan langit-langit. setumpuk benda yang dengan ajaibnya tersangkut di sana yang bahkan air bah tak sanggup menariknya pergi. Tergesa aku berusaha mengangkat batang-batang kayu dan serpihan genting yang menimpanya. Sebuah kotak kardus besar, yang hanya tersisa alasnya beserta lapisan plastik yang semula membalutnya.
Sebuah paket, komunikasi terakhir dengan sang bibi. Tanganku mengais apapun yang tersisa di dalamnya, beberapa kotak perangkat elektronik yang segera kuketahui adalah alat pijat yang sudah rusak terendam air, kotak lainnya berisi MP3 Player, dan sebuah kamera saku. Benda-benda yang selalu aku inginkan tanpa aku mampu dapatkan, benda-benda yang setengah mati aku inginkan dan hanya mampu aku ceritakan kepada bibi melalui handphone kirimannya empat bulan lalu yang kini entah ada di mana. Bukan cuma itu, ada juga sebuah buku tebal, buku tua yang sekarang tampak semakin tua dengan koyakan-koyakan di seluruh penjurunya.
“Gus!! Kamu sudah kembali?” Suara lantang mang Kosim membuyarkan lamunanku. Kepalaku berputar mencari arah suara.
“Iya mang Kosim, tapi gak tahu juga ini mau ngapain” jawabku lirih.
“Ya perlahan-lahan, nanti kami bantu bangun kembali rumah kamu”
Ujar mang kosim dengan tatapan iba, ah sesungguhnya aku benci tatapan iba, sejujurnya, menjadi fihak yang dikasihani itu sangat tidak menyenangkan, terlebih jika kamu mengalaminya di nyaris sepanjang hidupmu.
“Makasih mang” Jawabku di sela kebingungan hendak berkata apa lagi.
“Iya, nanti sepulang mamang dari Kantor Pos, kita ngobrol-ngobrol yah, mamang ada urusan masalah paket, katanya sih Kantor Pos sudah buka”
Seperti tersengat listrik, aku terkejut mendengar kata Kantor Pos, kesedihan bercampur amarah akan hilangnya uang yang bibiku selipkan diantara paket, serta sebersit harapan akan adanya kemungkinan uang itu aku dapat kembali dan bisa kupergunakan untuk memperbaiki rumah.
“Mang saya boleh ikut??” Aku berkata setengah berteriak.
Mang Kosim mengernyitkan dahi melihat responku seperti itu, tapi sejurus kemudian senyuman kembali terbentuk dari sudut-sudut bibirnya.
“Ya tentu aja boleh, ayo ikut mamang, kebetulan mamang emang pergi sendirian kok, kita jalan kaki dulu yah sampai Jalan Gama, di sana motor mamang dititipkan”
Melonjak riang, mungkin inilah kali pertama aku merasakan sebuah harapan.
***
Tak ada yang berubah dari Kantor Pos ini. Letaknya di dataran yang tinggi membuatnya luput dari cengkraman air bah. Meski tampak tak seramai terakhir kali aku kunjungi, tapi nampak bahwa kegiatan di kantor ini berangsur pulih dan menggeliat. Meja resepsionis yang sama, pintu yang sama, ruangan yang sama dengan tumpukan kardusnya yang tinggi menjulang. Dan… lelaki tua yang sama, lelaki tua dengan papan nama yang sama di dadanya. Sekilas aku menangkap kilat aneh di matanya. Tak mampu aku bahasakan dalam kalimat dan kesimpulan. Tapi tatapan itu seperti percik bunga api di atmosfir penuh gas. Seperti menggerakkan sisi-sisi manusiawiku yang mengenal amarah. Lalu aku merasakan kepala ini penuh dengan kebencian.
Bersambung
Dari kejauhan samar terdengar gumam-gumam yang bercampur erang dan jeritan. Seketika kesadaranku penuh menelusur di aliran darah, menyentuh setiap sel yang lemah antara hidup dan mati. Menyalurkan kembali kemampuan merasa yang entah berapa lama terhenti ketika aku terpejam setengah mati tadi. Kesemutan menjalar dari tumit dan merangkak naik hingga ke paha. Terasa beban menggelayut di pangkuanku. Kepalaku tertunduk dan tertumbuk pada tubuh renta terkulai di sana.
Perih, lalu ada desahan udara terpompa dari rongga dadaku kembang kempis begitu cepat, seiring bahuku yang berguncang-guncang dengan sisa tenaga yang entah aku dapat darimana.
Aku terisak tanpa suara, tenggorokanku kering seperti terbakar. Menatap mata itu yang tak lagi bercahaya. Berbalut pakaian yang koyak hingga tak berbentuk digerus bah yang seketika lewat dalam gemuruh, lalu pergi meninggalkan perih kehilangan.
Dia yang wajah keriputnya tadi pagi membentuk senyum penuh harap meski sesaat. Dia yang jiwanya hilang tatkala jiwa tuanya masih tegar merengkuh harap hidup lebih lama. Sungguh, aku tak kuasa mewujudkan harapnya untuk mempertahankan selembar kehidupan.
***
Tak perlu air bah untuk menghanyutkannya, pun tak perlu puting beliung menerbangkannya. Rumah tua peninggalan Ayah yang tak pernah aku lihat wajahnya. Ayah yang hanya kudengar ceritanya, kureka-reka rupanya, dan kukhayal-khayalkan hangat peluknya melalui cerita nenek ketika beliau kehabisan bahan cerita pengantar tidurku waktu kecil dulu.
Tinggal puing terserak diantara hamparan luas kehancuran. Tetangga di kiri dan kanan tampak sudah memulai merengkuh kembali semangat hidup yang sempat terbawa jauh bersama air yang membilas bahagia menjadi pedih tak terhingga.
Sekian lama di pengungsian, sekian lama mengumpulkan keberanian, setelah kepergian nenek aku diliputi beribu rasa bersalah. Aku jengah dan aku marah atas diri yang kupandang begitu lemah. Tapi waktu mengurai setiap luka dan memberikan kesempatan bagi jiwa-jiwa untuk kembali menjalin harap.
Deritan bilah bambu, gemeretak pecahan kaca, bersahutan dengan bunyi palu dan gergaji di sebelah reruntuhan rumah. Mataku menelisik petak besar reruntuhan, seketika hatiku bertanya, apa yang aku cari? Hanya sebuah sepeda motor matic yang tersungkur dan tampak menyedihkan. Entah apakah masih bisa kuperbaiki atau tidak. Aku ingat di saat-saat terakhir usahaku menyalakan mesinnya yang sudah terendam air begitu dalam.
Tapi raguku terhempas sesaat pandanganku tertuju pada setumpuk benda yang tertimpa reruntuhan atap dan langit-langit. setumpuk benda yang dengan ajaibnya tersangkut di sana yang bahkan air bah tak sanggup menariknya pergi. Tergesa aku berusaha mengangkat batang-batang kayu dan serpihan genting yang menimpanya. Sebuah kotak kardus besar, yang hanya tersisa alasnya beserta lapisan plastik yang semula membalutnya.
Sebuah paket, komunikasi terakhir dengan sang bibi. Tanganku mengais apapun yang tersisa di dalamnya, beberapa kotak perangkat elektronik yang segera kuketahui adalah alat pijat yang sudah rusak terendam air, kotak lainnya berisi MP3 Player, dan sebuah kamera saku. Benda-benda yang selalu aku inginkan tanpa aku mampu dapatkan, benda-benda yang setengah mati aku inginkan dan hanya mampu aku ceritakan kepada bibi melalui handphone kirimannya empat bulan lalu yang kini entah ada di mana. Bukan cuma itu, ada juga sebuah buku tebal, buku tua yang sekarang tampak semakin tua dengan koyakan-koyakan di seluruh penjurunya.
“Gus!! Kamu sudah kembali?” Suara lantang mang Kosim membuyarkan lamunanku. Kepalaku berputar mencari arah suara.
“Iya mang Kosim, tapi gak tahu juga ini mau ngapain” jawabku lirih.
“Ya perlahan-lahan, nanti kami bantu bangun kembali rumah kamu”
Ujar mang kosim dengan tatapan iba, ah sesungguhnya aku benci tatapan iba, sejujurnya, menjadi fihak yang dikasihani itu sangat tidak menyenangkan, terlebih jika kamu mengalaminya di nyaris sepanjang hidupmu.
“Makasih mang” Jawabku di sela kebingungan hendak berkata apa lagi.
“Iya, nanti sepulang mamang dari Kantor Pos, kita ngobrol-ngobrol yah, mamang ada urusan masalah paket, katanya sih Kantor Pos sudah buka”
Seperti tersengat listrik, aku terkejut mendengar kata Kantor Pos, kesedihan bercampur amarah akan hilangnya uang yang bibiku selipkan diantara paket, serta sebersit harapan akan adanya kemungkinan uang itu aku dapat kembali dan bisa kupergunakan untuk memperbaiki rumah.
“Mang saya boleh ikut??” Aku berkata setengah berteriak.
Mang Kosim mengernyitkan dahi melihat responku seperti itu, tapi sejurus kemudian senyuman kembali terbentuk dari sudut-sudut bibirnya.
“Ya tentu aja boleh, ayo ikut mamang, kebetulan mamang emang pergi sendirian kok, kita jalan kaki dulu yah sampai Jalan Gama, di sana motor mamang dititipkan”
Melonjak riang, mungkin inilah kali pertama aku merasakan sebuah harapan.
***
Tak ada yang berubah dari Kantor Pos ini. Letaknya di dataran yang tinggi membuatnya luput dari cengkraman air bah. Meski tampak tak seramai terakhir kali aku kunjungi, tapi nampak bahwa kegiatan di kantor ini berangsur pulih dan menggeliat. Meja resepsionis yang sama, pintu yang sama, ruangan yang sama dengan tumpukan kardusnya yang tinggi menjulang. Dan… lelaki tua yang sama, lelaki tua dengan papan nama yang sama di dadanya. Sekilas aku menangkap kilat aneh di matanya. Tak mampu aku bahasakan dalam kalimat dan kesimpulan. Tapi tatapan itu seperti percik bunga api di atmosfir penuh gas. Seperti menggerakkan sisi-sisi manusiawiku yang mengenal amarah. Lalu aku merasakan kepala ini penuh dengan kebencian.