Senin pagi, aku terbangun tanpa bantuan matahari. Biasanya sinar matahari menggigit nakal kulitku yang luput dari balut selimut lalu memaksaku membuka mata dan melihat dunia yang semerawutnya lebih rumit dari mimpi-mimpi buruk. Pagi yang satu ini begitu dingin, membuat aku menjadi bagian dari ribuan penduduk bumi lainnya dengan rasa malas yang sama, keengganan yang sama, dan kecintaan yang tiba-tiba berlebih pada bantal, guling, selimut, dan kasur.
Senin memang menyebalkan, memutuskan rasa manjaku pada pelukan sang malas yang setia menemani dari sabtu hingga minggu. Mendung melipat-gandakan kemampuanku memaki hari, senin yang menyebalkan, senin yang menyebalkan.
Bunyi handphone sejenak menghentikan gusar, satu buah sms, rangkaian hurup yang tersusun disana membentuk kalimat-kalimat yang seketika mampu membuat mendung terasa benderang, membuat dingin terasa begitu menyenangkan, dan membuat senin kehilangan keburukannya. Senin yang menyenangkan, senin yang menyenangkan.
Motorku melaju seperti menari, dadaku menjadi lapang dan tak kusadari aku menjadi begitu banyak tersenyum. Pada ibu-ibu yang menyeberang mendadak, pada truk yang memotong jalan hingga aku hampir tewas terlindas, pada bunga-bunga di pinggir jalan, pada tiang-tiang telepon, pada gerobak-gerobak yang parkir sembarangan, bahkan pada trotoar sepanjang jalan. Ah sms itu benar-benar meracuniku dengan euphoria, seperti parade panjang dengan dentuman musik riang mengisi hati, kebahagiaan yang melonjak-lonjak tak terkendali.
Aku masih tersenyum-senyum pada apa saja yang terperangkap di pandangan mata ketika aku memasuki gedung kantor pos. Handphone keberuntungan pun ku keluarkan dan secepat kilat mencari sms tadi, lalu jemariku dengan kalap menekan tombol demi tombol, menggulung layar hingga ke bagian akhir sms di mana tercantum nama pengirimnya.
"Permisi pak, bisa bertemu bapak Alhardi?", tanyaku kepada salah satu petugas. Aku yakin waktu itu pasti mulutku membentuk senyum yang berlebihan.
"Masuk aja ke dalam pak", jawab petugas tersebut seraya menunjuk pintu ruangan di samping kanan meja resepsionis.
"Terima kasih", ucapku dengan tergesa-gesa.
Pintu itu terbuka, dan seujung kemampuanku memandang, tak ada lain di ruangan ini selain ratusan buah kardus yang ditumpuk menjulang hingga ke langit-langit. Sepersekian detik terbersit di benaku, "Yang mana paket buatku?"
Suara berat pria tua seketika membuyarkan reka-reka di kepala akan bentuk paket yang akan kuterima. Pria tua dengan seragam putih memandangiku sambil tersenyum. Mataku menelisik dan secara reflek tertuju ke arah dada di mana papan nama berada di sana.
"Bapak Alhardi bukan?". Pertanyaan tolol aku tahu, tapi bukankah memang seperti itu basa-basi?, selalu klise, selalu tolol.
"Ya seperti adek lihat di papan nama saya kan?" Jawabnya secara tersenyum. "Mau ambil paket yah dek?" sambungnya seraya menunjuk kursi di hadapanku.
"Benar pak, tadi pagi bapak sms saya kalau saya dapat paket". Jawabku sambil dengan susah payah mengeluarkan benda-benda dari kantung celana. Yah, benda-benda yang membuat kita ketergantungan akan keberadaannya. Sekotak rokok, korek gas, kunci motor, dua buah handphone, serta dompet yang meskipun tak ada uangnya tetap saja aku harus membawanya. Dan sialnya benda-benda tersebut selalu tidak pernah membuatku bisa duduk nyaman selagi mereka berada di saku celana.
Dan begitulah, aku pulang dengan sebuah kardus besar. Kardus itu begitu lebar hingga tidak dapat kuselipkan di rongga depan motor matic ku. Tapi euphoria sanggup menjadikan aku seperti pe-rally handal, seperti pemain sirkus dadakan, aku membawa kardus lebar itu dengan santai, dengan senyum lebar yang mungkin lebih lebar dari kardus itu sendiri.
Hujan yang tiba-tiba turun tak lagi membuatku gentar, tetesannya seperti pautan jemari manis amoy cantik di senar kecapi. Semua memiliki nada dan birama, bahkan spanduk dan baliho yang berguncang diterpa angin tampak seperti sedang mempertontonkan tarian. Sesaat aku menjadi sadar, aku mendapatkan pengetahuan baru, tak heran mengapa orang india suka sekali menari di saat hujan, ah, mereka jatuh cinta pada saat melakukannya, mereka tengah berbahagia, seperti aku. Cuma bedanya mereka bahagia karena sesosok wanita cantik atau seonggok pria gagah tengah menggelinjang di bawah hujan tepat di hadapannya, aku bahagia karena kardus besar nan lebar ini teronggok manis di stang motorku, kardus yang membuat aku terpikir untuk memanjangkan leher supaya aku bisa melihat jalanan di depan.
Basah dan menggigil, aku sama sekali tak berminat mengganti pakaian, konsentrasiku tercurah pada kardus besar yang sudut-sudutnya meleleh digerogoti hujan. Semangatku seperti kobar api yang dikubur sekam, entah mengapa tak ada satupun alat yang bisa kupakai untuk memotong liitan plastik wrapping yang menyebalkan ini. Seperti kalap, akhirnya kuku jempolku menjadi penyelamat, entah bagaimana caranya, kuku jempol yang seringkali dikritik keberadaanya karena dianggap terlalu panjang, hitam, dan jorok ini justru menemukan fungsi yang sebenarnya sebagai alat pembuka wrapping darurat.
Dan setelah melalui perjuangan panjang akhirnya kardus besar itu bisa terbuka juga. Mataku menelisik setiap sudut di dalamnya, tak lepas walau sedetikpun. Senyumku semakin lebar, tatapan mataku selalu menemukan objek yang mampu menyalurkan kejutan riang di hatiku. Dan tanganku perlahan meraih benda-benda itu, mencari satu objek yang paling penting di dalamnya.
Senin memang menyebalkan, memutuskan rasa manjaku pada pelukan sang malas yang setia menemani dari sabtu hingga minggu. Mendung melipat-gandakan kemampuanku memaki hari, senin yang menyebalkan, senin yang menyebalkan.
Bunyi handphone sejenak menghentikan gusar, satu buah sms, rangkaian hurup yang tersusun disana membentuk kalimat-kalimat yang seketika mampu membuat mendung terasa benderang, membuat dingin terasa begitu menyenangkan, dan membuat senin kehilangan keburukannya. Senin yang menyenangkan, senin yang menyenangkan.
Motorku melaju seperti menari, dadaku menjadi lapang dan tak kusadari aku menjadi begitu banyak tersenyum. Pada ibu-ibu yang menyeberang mendadak, pada truk yang memotong jalan hingga aku hampir tewas terlindas, pada bunga-bunga di pinggir jalan, pada tiang-tiang telepon, pada gerobak-gerobak yang parkir sembarangan, bahkan pada trotoar sepanjang jalan. Ah sms itu benar-benar meracuniku dengan euphoria, seperti parade panjang dengan dentuman musik riang mengisi hati, kebahagiaan yang melonjak-lonjak tak terkendali.
Aku masih tersenyum-senyum pada apa saja yang terperangkap di pandangan mata ketika aku memasuki gedung kantor pos. Handphone keberuntungan pun ku keluarkan dan secepat kilat mencari sms tadi, lalu jemariku dengan kalap menekan tombol demi tombol, menggulung layar hingga ke bagian akhir sms di mana tercantum nama pengirimnya.
"Permisi pak, bisa bertemu bapak Alhardi?", tanyaku kepada salah satu petugas. Aku yakin waktu itu pasti mulutku membentuk senyum yang berlebihan.
"Masuk aja ke dalam pak", jawab petugas tersebut seraya menunjuk pintu ruangan di samping kanan meja resepsionis.
"Terima kasih", ucapku dengan tergesa-gesa.
Pintu itu terbuka, dan seujung kemampuanku memandang, tak ada lain di ruangan ini selain ratusan buah kardus yang ditumpuk menjulang hingga ke langit-langit. Sepersekian detik terbersit di benaku, "Yang mana paket buatku?"
Suara berat pria tua seketika membuyarkan reka-reka di kepala akan bentuk paket yang akan kuterima. Pria tua dengan seragam putih memandangiku sambil tersenyum. Mataku menelisik dan secara reflek tertuju ke arah dada di mana papan nama berada di sana.
"Bapak Alhardi bukan?". Pertanyaan tolol aku tahu, tapi bukankah memang seperti itu basa-basi?, selalu klise, selalu tolol.
"Ya seperti adek lihat di papan nama saya kan?" Jawabnya secara tersenyum. "Mau ambil paket yah dek?" sambungnya seraya menunjuk kursi di hadapanku.
"Benar pak, tadi pagi bapak sms saya kalau saya dapat paket". Jawabku sambil dengan susah payah mengeluarkan benda-benda dari kantung celana. Yah, benda-benda yang membuat kita ketergantungan akan keberadaannya. Sekotak rokok, korek gas, kunci motor, dua buah handphone, serta dompet yang meskipun tak ada uangnya tetap saja aku harus membawanya. Dan sialnya benda-benda tersebut selalu tidak pernah membuatku bisa duduk nyaman selagi mereka berada di saku celana.
Dan begitulah, aku pulang dengan sebuah kardus besar. Kardus itu begitu lebar hingga tidak dapat kuselipkan di rongga depan motor matic ku. Tapi euphoria sanggup menjadikan aku seperti pe-rally handal, seperti pemain sirkus dadakan, aku membawa kardus lebar itu dengan santai, dengan senyum lebar yang mungkin lebih lebar dari kardus itu sendiri.
Hujan yang tiba-tiba turun tak lagi membuatku gentar, tetesannya seperti pautan jemari manis amoy cantik di senar kecapi. Semua memiliki nada dan birama, bahkan spanduk dan baliho yang berguncang diterpa angin tampak seperti sedang mempertontonkan tarian. Sesaat aku menjadi sadar, aku mendapatkan pengetahuan baru, tak heran mengapa orang india suka sekali menari di saat hujan, ah, mereka jatuh cinta pada saat melakukannya, mereka tengah berbahagia, seperti aku. Cuma bedanya mereka bahagia karena sesosok wanita cantik atau seonggok pria gagah tengah menggelinjang di bawah hujan tepat di hadapannya, aku bahagia karena kardus besar nan lebar ini teronggok manis di stang motorku, kardus yang membuat aku terpikir untuk memanjangkan leher supaya aku bisa melihat jalanan di depan.
Basah dan menggigil, aku sama sekali tak berminat mengganti pakaian, konsentrasiku tercurah pada kardus besar yang sudut-sudutnya meleleh digerogoti hujan. Semangatku seperti kobar api yang dikubur sekam, entah mengapa tak ada satupun alat yang bisa kupakai untuk memotong liitan plastik wrapping yang menyebalkan ini. Seperti kalap, akhirnya kuku jempolku menjadi penyelamat, entah bagaimana caranya, kuku jempol yang seringkali dikritik keberadaanya karena dianggap terlalu panjang, hitam, dan jorok ini justru menemukan fungsi yang sebenarnya sebagai alat pembuka wrapping darurat.
Dan setelah melalui perjuangan panjang akhirnya kardus besar itu bisa terbuka juga. Mataku menelisik setiap sudut di dalamnya, tak lepas walau sedetikpun. Senyumku semakin lebar, tatapan mataku selalu menemukan objek yang mampu menyalurkan kejutan riang di hatiku. Dan tanganku perlahan meraih benda-benda itu, mencari satu objek yang paling penting di dalamnya.