SEBUAH PAKET, PART 2


Celana pendek loreng, terbungkus plastik besar dan disatukan dengan satu pak rokok, uangnya terdapat dalam amplop warna merah di saku belakang sebelah kanan. Instruksi itu demikian melekat di kepala dan bergumam di telinga seperti bisikan berulang-ulang. Mencoba menghubungkan antara instruksi dari sang bibi melalui sambungan telepon dengan apa yang kulihat dalam kotak kardus besar ini membuatku kembali menjadi anak kecil yang berjuang menyelesaikan puzzle, bersemangat, antusias dan tidak sabar. Konsentrasiku penuh menelaah letak dan posisi. Dan gema instruksi di kepala mengaburkan pandangku pada kehadiran benda-benda lain dalam kotak itu. Aku hanya menyadari bahwa di dalam kotak itu ada beberapa kotak kecil bersegel dan berisi perangkat elektronik, serta benda-benda lain yang tak cukup kuat menarik perhatianku.

Tertegun, tiba-tiba aku merasa ada yang salah, celana pendek loreng teronggok di sudut bawah kardus sebelah kanan, sekotak rokok terhimpit dua kotak perangkat elektronik di bagian tengah kardus. Jantungku mulai berdetak dengan tempo yang lebih cepat seiring instingku yang mulai membenamkan ide bahwa ada sesuatu yang salah di sini. 


***

Tatapanku tersangkut di plastik-plastik sisa wrapping yang berserakan di lantai. Hampa, dadaku seperti rongga yang ternggut isinya hingga kosong. Lalu seperti kalap, kembali aku mengobrak-abrik seluruh isi kardus yang entah untuk keberapa puluh kalinya aku lakukan. Bunyi handphone seperti sebuah jeritan yang tak ingin lagi aku pedulikan. Nama bibi terpampang di layar menambah keenggananku untuk menjawab panggilan.

Cukup sudah, aku benar-benar hafal instruksinya mengenai letak uang itu, dan penyesalanku sudah berulang kali tertumpah dan menjurus kepada amarah. Ketidak pahamanku mengapa bibi dengan bodohnya menyelipkan uang di dalam paket dan bukannya melalui transfer sungguh tak mampu aku cerna dalam nalar. Penyesalanku kenapa dia bilang perkara uang tersebut justru setelah paketnya dikirim menambah sesak dan frustasi.

Wajah nenek yang terbaring lemah dalam sakitnya menambah sayatan-sayatan di dalam hati. Wajah keriput dan pucat, yang sesaat saja sempat menunjukkan gerakan lemah di sudut-sudut bibirnya membentuk senyum kecil ketika aku bilang bahwa sore ini aku akan bisa membawanya pergi ke rumah sakit untuk di rawat. Raut tenang dan senang di wajah keriput itu ketika kukatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja karena sore ini aku akan mendapatkan kiriman. Wajah itu, ekspresi itu merayapi dinding-dinding kepala yang sekarang ini tengah dilanda kebingungan. Lalu bagaimana aku bisa mengubur tatapan penuh harap di mata nenek dengan berita mengecewakan ini?

***

Hilang, tak tahu entah tersangkut dimana, tak tahu entah tangan siapa yang telah membuyarkan segala cita dan rencana sore ini. Handphone masih berbunyi dan terdengar samar di telingaku yang terbenam diantara serakan barang-barang. Gemetar tanganku terasa jelas menjalar dari jemari yang tengah meremas rambut hingga kulit kepalaku terasa perih. Entah mengapa tanganku seperti tak terkendali dan terus menumbuhkan perih di kepala, mungkin karena perih di kepala sanggup mengalihkan sejenak dari perasaan perih di rongga hati yang sakitnya berkali lipat tak terperi.

Hening, suara handphone telah menghilang dan tatapanku kembali fokus ke arah benda-benda di dalam kardus. Sesaat tatapanku terantuk pada sebuah buku besar bersampul kusam yang tersembul diantara tumpukan pakaian. Tanganku meraihnya, rona tua buku itu semakin terlihat dari kertasnya yang telah menguning dengan sudut-sudut halaman yang terlipat-lipat tak beraturan.

Hatiku penuh dilanda penasaran ketika terdengar gemericik dari lantai, dari kakiku yang seketika terasa basah. Lalu kesadaranku yang sebelumnya di kekang kecewa dan rasa bingung kembali menggeliat memenuhi rongga kepala. Aku sadar sepenuhnya kini dan mundur selangkah menjauhi meja agar kepalaku bisa melihat lantai dan kakiku dengan jelas. Terdengar bunyi gemericik ketika kakiku bergerak, dan jantungku seolah meloncat ketika mataku melihat bahwa air di lantai telah menggenang melebihi mata kaki.

Panik, aku menyeret kaki secepat mungkin menuju kamar di mana nenek terbaring. Air mataku terpompa oleh gelegak kesedihan dari rongga hati. Tenggorokanku tercekat nyaris membuatku tak mampu bernafas. Nanar mataku memandang ke arah nenek yang terbaring di atas kasur yang terbentang di lantai. Air telah menggenang dan menenggelamkan separuh tubuh tua yang terbaring lemah itu. 

Air mukanya menyiratkan ketakutan dan ketidak berdayaan. Mulutnya menganga dan aku meyakini itu adalah teriakan tanpa suara, teriakan untuk memanggilku, memintaku melindungi tubuh renta nya. Aku menghambur ke arahnya yang tersengal dalam ketakutan yang teramat sangat. Air mata ini mengalir semakin membuat basah wajahku yang sedari tadi tak henti terciprati air.

***

Air begitu cepatnya naik hingga tak membutuhkan waktu lama untuk menenggelamkan separuh kakiku hingga ke lutut. Kaki yang gemetar dilanda rasa terkejut, penyesalan, kesedihan, serta menopang tubuhku yang tengah memaangku nenek dalam pelukan.

“Nenek jangan takut, semuanya akan baik-baik saja...aku...”, Tak mampu aku melanjutkan kalimat karena tenggorokanku seolah tercekik dan air mata ini tak mampu kubendung.

Keinginanku menyeka air mata tak mampu kuwujudkan karena kedua tanganku harus memangku nenek dan membawanya pergi dari sini. Pergi ke tempat yang sampai detik inipun aku tak tahu entah kemana. Apa yang harus aku lakukan?

Terseok aku melangkah sambil memangku tubuh renta itu keluar dari rumah. Tatapanku sempat tersangkut di tumpukan barang kardus paket beserta isi di dalamnya yang teronggok di atas meja. Meja yang nyaris tenggelam ditelan banjir.

Air semakin merayap tinggi seperti hendak menelan sekelilingku..

Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar