Celana pendek loreng, terbungkus plastik besar dan disatukan
dengan satu pak rokok, uangnya terdapat dalam amplop warna merah di saku
belakang sebelah kanan. Instruksi itu demikian melekat di kepala dan bergumam
di telinga seperti bisikan berulang-ulang. Mencoba menghubungkan antara
instruksi dari sang bibi melalui sambungan telepon dengan apa yang kulihat
dalam kotak kardus besar ini membuatku kembali menjadi anak kecil yang berjuang
menyelesaikan puzzle, bersemangat, antusias dan tidak sabar. Konsentrasiku
penuh menelaah letak dan posisi. Dan gema instruksi di kepala mengaburkan
pandangku pada kehadiran benda-benda lain dalam kotak itu. Aku hanya menyadari
bahwa di dalam kotak itu ada beberapa kotak kecil bersegel dan berisi perangkat
elektronik, serta benda-benda lain yang tak cukup kuat menarik perhatianku.
Tertegun, tiba-tiba aku merasa ada yang salah, celana pendek loreng teronggok di sudut bawah kardus sebelah kanan, sekotak rokok terhimpit dua kotak perangkat elektronik di bagian tengah kardus. Jantungku mulai berdetak dengan tempo yang lebih cepat seiring instingku yang mulai membenamkan ide bahwa ada sesuatu yang salah di sini.
***
Tatapanku tersangkut di
plastik-plastik sisa wrapping yang berserakan di lantai. Hampa, dadaku seperti
rongga yang ternggut isinya hingga kosong. Lalu seperti kalap, kembali aku
mengobrak-abrik seluruh isi kardus yang entah untuk keberapa puluh kalinya aku
lakukan. Bunyi handphone seperti sebuah jeritan yang tak ingin lagi aku
pedulikan. Nama bibi terpampang di layar menambah keenggananku untuk menjawab
panggilan.
Cukup sudah, aku benar-benar hafal instruksinya mengenai letak uang itu, dan penyesalanku
sudah berulang kali tertumpah dan menjurus kepada amarah. Ketidak pahamanku mengapa bibi dengan bodohnya
menyelipkan uang di dalam paket dan bukannya melalui transfer sungguh tak mampu
aku cerna dalam nalar. Penyesalanku kenapa dia bilang perkara uang tersebut
justru setelah paketnya dikirim menambah sesak dan frustasi.
Wajah nenek yang terbaring lemah dalam sakitnya menambah
sayatan-sayatan di dalam hati. Wajah keriput dan pucat, yang sesaat saja sempat menunjukkan gerakan
lemah di sudut-sudut bibirnya membentuk senyum kecil ketika aku bilang bahwa
sore ini aku akan bisa membawanya pergi ke rumah sakit untuk di rawat. Raut
tenang dan senang di wajah keriput itu ketika kukatakan bahwa semuanya akan
baik-baik saja karena sore ini aku akan mendapatkan kiriman. Wajah itu,
ekspresi itu merayapi dinding-dinding kepala yang sekarang ini tengah dilanda
kebingungan. Lalu bagaimana aku bisa mengubur tatapan penuh harap di mata nenek
dengan berita mengecewakan ini?
***
Hilang, tak tahu
entah tersangkut dimana, tak tahu entah tangan siapa yang telah membuyarkan
segala cita dan rencana sore ini. Handphone masih berbunyi dan terdengar samar
di telingaku yang terbenam diantara serakan barang-barang. Gemetar tanganku
terasa jelas menjalar dari jemari yang tengah meremas rambut hingga kulit
kepalaku terasa perih. Entah mengapa tanganku seperti tak terkendali dan terus
menumbuhkan perih di kepala, mungkin karena perih di kepala sanggup mengalihkan
sejenak dari perasaan perih di rongga hati yang sakitnya berkali lipat tak
terperi.
Hening, suara
handphone telah menghilang dan tatapanku kembali fokus ke arah benda-benda di
dalam kardus. Sesaat tatapanku terantuk pada sebuah buku besar bersampul kusam
yang tersembul diantara tumpukan pakaian. Tanganku meraihnya, rona tua buku itu
semakin terlihat dari kertasnya yang telah menguning dengan sudut-sudut halaman
yang terlipat-lipat tak beraturan.
Hatiku penuh dilanda
penasaran ketika terdengar gemericik dari lantai, dari kakiku yang seketika
terasa basah. Lalu kesadaranku yang sebelumnya di kekang kecewa dan rasa
bingung kembali menggeliat memenuhi rongga kepala. Aku sadar sepenuhnya kini
dan mundur selangkah menjauhi meja agar kepalaku bisa melihat lantai dan kakiku
dengan jelas. Terdengar bunyi gemericik ketika kakiku bergerak, dan jantungku
seolah meloncat ketika mataku melihat bahwa air di lantai telah menggenang
melebihi mata kaki.
Panik, aku menyeret
kaki secepat mungkin menuju kamar di mana nenek terbaring. Air mataku terpompa
oleh gelegak kesedihan dari rongga hati. Tenggorokanku tercekat nyaris
membuatku tak mampu bernafas. Nanar mataku memandang ke arah nenek yang
terbaring di atas kasur yang terbentang di lantai. Air telah menggenang dan
menenggelamkan separuh tubuh tua yang terbaring lemah itu.
Air mukanya menyiratkan ketakutan dan ketidak berdayaan. Mulutnya menganga dan aku meyakini itu adalah teriakan tanpa suara, teriakan untuk memanggilku, memintaku melindungi tubuh renta nya. Aku menghambur ke arahnya yang tersengal dalam ketakutan yang teramat sangat. Air mata ini mengalir semakin membuat basah wajahku yang sedari tadi tak henti terciprati air.
***
Air begitu cepatnya naik
hingga tak membutuhkan waktu lama untuk menenggelamkan separuh kakiku hingga ke
lutut. Kaki yang gemetar dilanda rasa terkejut, penyesalan, kesedihan, serta
menopang tubuhku yang tengah memaangku nenek dalam pelukan.
“Nenek jangan takut,
semuanya akan baik-baik saja...aku...”, Tak mampu aku melanjutkan kalimat
karena tenggorokanku seolah tercekik dan air mata ini tak mampu kubendung.
Keinginanku menyeka
air mata tak mampu kuwujudkan karena kedua tanganku harus memangku nenek dan
membawanya pergi dari sini. Pergi ke tempat yang sampai detik inipun aku tak
tahu entah kemana. Apa yang harus aku lakukan?
Terseok aku
melangkah sambil memangku tubuh renta itu keluar dari rumah. Tatapanku sempat
tersangkut di tumpukan barang kardus paket beserta isi di dalamnya yang
teronggok di atas meja. Meja yang nyaris tenggelam ditelan banjir.
Air semakin merayap
tinggi seperti hendak menelan sekelilingku..
Bersambung